Mangkujiwo : Lahirnya Kuntilanak
SINOPSIS
Pada tahun 50-an, seorang wanita bernama Kanti (Asmara Abigail) sedang mengandung. Warga desa menganggapnya sebagai pembawa kutukan. Kanti pun dipasung di sebuah kandang kerbau.
Kemudian Brotoseno (Sujiwo Tejo), seorang abdi raja, menjemput Kanti. Dia ditemani oleh Sadi, pelayannya yang tunawicara. Brotoseno berniat merawat Kanti. Permintaan dikabulkan, Kanti dilepaskan dan ikut dengan Brotoseno.
Brotoseno membawa Kanti ke rumahnya. Kanti ditempatkan di sebuah ruangan khusus. Kaki dan tangannya lagi-lagi dipasung.
Brotoseno mengatakan bahwa dia akan membantu Kanti balas dendam. Namun ternyata Brotoseno mulai menjalankan ritual ilmu hitam. Ritual itu dilakukan dengan posisi Kanti menghadap sebuah cermin antik bernama Pengilon Kembar.
Karmila dan dua rekannya marah karena harga yang ditawarkan Raymond terlalu rendah. Herman menusuk Raymond sampai meninggal. Uma melihat Raymond sudah tergeletak di lantai.
Herman berhasil menangkap dan menyiksa Uma. Pulung diminta untuk menenangkan Uma, tapi malah mencoba memerkosa gadis itu. Uma kemudian menembangkan sebuah lagu. Dia kemudian mematahkan leher Pulung.
Dia kemudian pulang ke rumah ayahnya, Brotoseno. Meskipun hubungan Uma dan ayahnya nggak begitu akur tapi Uma merasa rumah adalah tempat paling aman baginya.
Nyi Kenanga, pelayan Tjokro, memberi saran agar cermin Pengilon Kembar disatukan lagi. Ini berati Tjokro harus menghampiri Brotoseno. Namun Tjokro marah besar karena nggak sudi berurusan dengan Brotoseno.
Tak lam, Herman mendatangi rumah Brotoseno. Dia memberi tahu bahwa Uma sudah membunuh Pulung, anak dari Tjokro. Nyi Kenanga mendatangi Brotoseno. Dia mengungkapkan keinginannya untuk menyatukan Pengilon Kembar.
Brotoseno menganggap remeh niat Nyi Kenanga. Herman mendatangi rumah Brotoseno untuk membunuh Uma. Saat tengah disiksa Herman, Uma kerasukan. Herman pun didorong ke dalam wadah berisikan air panas sampai mati.
Karmila yang penasaran kemudian mencari tahu permasalahan Brotoseno dan Tjokro pada Nyi Kenanga. Nyi Kenanga hanya memberi tahu bahwa keduanya akan berperang.
Brotoseno memperlihatkan ruang tersembunyi di rumahnya pada Uma. Dia kemudian menceritakan bahwa Uma merupakan anak Kanti.
Dulu, Kanti dipasung oleh Tjokro untuk merusak nama Brotoseno. Kanti sebenarnya dibunuh oleh Tjokro namun kematian Kanti dibuat seolah-olah ia mengakhiri hidup dengan gantung diri. Uma pun merasa dendam pada Tjokro.
Namun ternyata, Brotoseno berbohong mengenai cerita Kanti dan Uma. Sebenarnya Uma merupakan anak hasil hubungan gelap Tjokro dan Kanti. Brotoseno hanya menyiapkan Uma agar kelak menjadi penerus Kanti.
Brotoseno ingin balas dendam pada musuh bebuyutannya, Tjokro. Uma dijadikan alat untuk mewujudkan keinginan Brotoseno. Akankah keinginan balas dendam Brotoseno tercapai?
Banyak Elemen dalam Cerita
Mangkujiwo sekilas nggak terlihat sebagai film yang akan mengangkat awal mula sosok kuntilanak. Kita akan dibawa mendalami berbagai ritual ilmu hitam yang dilakukan Brotoseno untuk Kanti.
Dari awal, kita digiring untuk mengetahui bahwa ada dua sosok abdi raja yang berseteru. Dua sosok itu adalah Brotoseno dan Tjokro. Kemudian, ada juga sosok Kanti yang nantinya akan dijadikan alat oleh Brotoseno.
Sosok Brotoseno menguasai ilmu hitam. Dia nggak menggunakan kemampuannya itu untuk langsung balas dendam pada Tjokro.
Karakter Tjokro digambarkan hanya bisa dikalahkan oleh keturunannya sendiri. Pengungkapan motif perseteruan Brotoseno dan Tjokro ini nggak diungkap sejak awal. Hasilnya, kita kebingungan dari awal karena cerita melompat-lompat.
Film karya sutradara Azhar Kinoi Lubis ini nggak hanya mengangkat elemen balas dendam. Ada juga elemen pengkhianatan yang terselip dalam ceritanya.
Semua karakter utama di film ini diberikan pendalaman yang cukup solid. Masing-masing diberi kesempatan untuk memperlihatkan motif mereka. Hanya saja, cara penyampaiannya begitu rumit. Kita harus memperhatikan betul setiap dialog. Perlu effort yang besar kalau ingin benar-benar memahami alur ceritanya.
Penggunaan Alur Maju Mundur
Mangkujiwo nggak berjalan dengan alur linear. Ia akan bercerita kemudian flashback ke masa lalu. Kita dipaksa menyatukan rangkaian-rangkaian itu.
Sayangnya, rangkaian-rangkaian itu nggak digarap dengan rapi. Kita bisa kesulitan membedakan linimasa dalam cerita. Untuk membedakan linimasa, kita harus memperhatikan warna rambut karakter-karakternya.
Penggunaan alur maju mundur di film ini bukannya tanpa alasan. Film ini menyajikan twist tersembunyi dalam ceritanya. Penempatannya yang nggak biasa layak diapresiasi. Tapi bisa jadi twist itu terasa nggak spesial.
Pasalnya, kita terus dibuat kebingungan dengan cerita yang nggak teratur. Akan jadi masalah kalau kamu tipikal orang yang susah fokus.
Ada hal yang mengganggu dengan keberadaan dua linimasa di film ini. Di dekade 60-an, beberapa karakter nggak memakai kostum yang sesuai dengan masanya. Brotoseno, Tjokro, Nyi Kenanga, Karmila tampil meyakinkan dengan kostum bernuansa 60-an namun Herman, Pulung dan Uma justru terlihat seperti datang dari masa kini.
Minim Jumpscare
Jumpscare merupakan salah satu andalan dalam film-film horor. Sayangnya, Mangkujiwo nggak mengandalkannya. Pendekatan horror di film ini lebih pada suasana.
Adegan gore pun minim ditampilkan. Sebagai gantinya, banyak adegan menjijikkan di film ini. Ada adegan membelah perut tikus, mengeluarkan darah ayam, sampai mengaduk jeroan perut tikus dengan nasi.
Secara sinematografi, film ini banyak mengandalkan mid shot. Ada sebuah adegan yang memperlihatkan match cut. Film ini juga banyak menggunakan pencahayaan untuk membangun nuansa mengerikan. Sedangkan untuk adegan siang hari, pemilihan pewarnaannya cukup cantik.
Kekurangan film ini ada pada penggunaan efek. Adegan berdarah-darah di akhir menggunakan efek yang terkesan terlalu kasar.
Mangkujiwo berjalan dengan tempo lambat dan minim letupan. Secara keseluruhan, film ini kurang efektif dalam menciptakan nuansa menakutkan.
Untungnya kelemahan itu ditutupi oleh cerita rumit penuh intrik. Durasi 106 menit terasa panjang karena penonton membutuhkan fokus yang tinggi.
Komentar
Posting Komentar